Alkisah, tinggal sekelompok Bani Israil di sebuah desa dekat Teluk Aqabah. Desa tersebut bernama Aylah atau Iylat atau al-'Aqabah.
Mereka terbiasa mencari dan menangkap ikan di pantai Aqabah. Di pesisir pantai tersebut, terdapat dua berhala bernama Luqaim dan Luqmanah.
Acap kali hari Sabtu tiba, penduduk desa berburu ikan sembari mendekati dua patung tak bernyawa tersebut. Hingga suatu hari, Allah pun menurunkan larangan bagi penduduk desa untuk menangkap ikan di hari Sabtu.
Konon, Allah pernah memerintahkan mereka mencurahkan pikiran dan waktu pada hari Jumat. Namun, mereka mengatakan lebih menyukai hari Sabtu dengan beralasan Sabtu merupakan hari di mana Allah selesai menciptakan segala sesuatu.
“Kami akan berusaha untuk hari Sabtu karena Allah selesai mencipta pada hari Sabtu,” ujar Yahudi menawar. Akhirnya, ditetapkanlah bagi mereka hari Sabtu sebagai hari beribadah dan diharamkan melakukan segala macam usaha pada hari tersebut.
Menguji ketakwaan para penduduk desa, Allah pun memerintahkan ikan-ikan untuk berkumpul pada hari Sabtu dan menghilang di lima hari lain selain Sabtu. Alhasil, beragam jenis ikan lezat yang menggiurkan berdatangan ke tepi pantai.
Tak hanya itu, ikan-ikan pun berkumpul di sekitar Luqaim dan Luqmanah. Namun, pada hari Ahad hingga Kamis, ikan-ikan menjauh dari tepi laut. Untuk mendapatkan seekor saja, perlu usaha keras dan susah payah.
Menghadapi godaan tersebut, beberapa penduduk desa menahan diri dan memilih menjalankan perintah Allah.
Sementara, sebagian besar lain tergoda bisikan perutnya dan berpikir bagaimana cara mendapatkan ikan di hari terlarang. Ada pula beberapa warga lain hanya berdiam diri dalam kegalauan tak melakukan apa pun.
Godaan para setan pun berhasil menguasai akal pikiran para pembangkang. Sekelompok warga pun menemukan cara menyiasati perintah Allah.
Mereka berencana menggali telaga atau kolam di tepi laut. “Sesungguhnya kita hanya dilarang untuk menangkap ikan pada hari Sabtu,” ujar seorang warga.
“Karena itu, marilah kita mebuat kolam perangkap agar ikan-ikan itu terperangkap di dalamnya pada hari Sabtu, lalu pada hari berikutnya kita dapat mengambil dan memakannya.”
Sepakat, mereka pun berbondong-bondong menuju tepi laut pada Jumat sore, kemudian menggali kolam perangkap ikan. Pada hari Sabtu, mereka beribadah dan tak mengail ikan ke laut.
Di hari Sabtu, air laut menggenangi kolam secara sendirinya. Ikan-ikan pun ikut terperangkap dalam kolam tersebut. Kemudian keesokan hari, pada hari Ahad, Mereka pun mendapati kolam mereka berisi penuh ikan.
“Kita mematuhi perintah Ilahi karena kita tidak menangkapnya pada hari Sabtu, tetapi kita menangkapnya pada hari Ahad,” teriak seorang warga girang dengan kelicikan mereka.
Melihat tingkah licik para pembangkang, beberapa warga yang saleh pun geram. Para ulama di kalangan mereka kemudian menasihati para pelanggar hari Sabtu untuk bertaubat dan kembali mematuhi perintah Allah.
Namun, nasihat mereka tak didengar. Bahkan, mereka para alim bukan hanya ditentang oleh para pelanggar. Beberapa warga yang sebelumya hanya berdiam diri pun ikut vokal menentang para Mukmin saleh. Mereka tak ikut membuat perangkap kolam, namun mereka tak senang para penasihat memberi peringatan bagi para pelanggar.
Menegaskan sikap penolakan, para ulama dan orang saleh tersebut pun bermaksud meninggalkan desa. Nasihat mereka tak lagi didengar apalagi berguna bagi para pembangkang perintah Allah.
“Kami tidak akan bermalam bersama kalian di desa, tetapi keluar meninggalkan desa dan bermalam di pinggiran desa,” ujar seorang ulama. Malam pun dilalui para hamba Allah dengan menginap di luar desa.
Hingga keesokan hari, mereka merasa janggal dengan suasana sepi desa. Tak ada keramaian ataupun aktivitas warga. Sejak pagi hari, tak satu pun warga yang keluar rumah. Mereka pun mengutus salah seorang pria untuk mengetahui apa yang tengah terjadi.
Memasuki desa, pria utusan tersebut tercengang dengan kondisi desa yang sunyi senyap layaknya wilayah tak berpenghuni.
Ia pun mengetuk pintu salah seorang warga, tak ada jawaban. Ia kemudian mengintip jendela rumah dan melihat penghuninya bukan manusia melainkan monyet-monyet.
Tak percaya dengan apa yang dilihat, pria itu pun menuju rumah lain. Dua, tiga, sepuluh rumah, namun hasilnya sama. Desa pesisir tersebut menjelma menjadi desa para monyet.
TAFSIR
Kisah Ashabus-sabti, atau kisah para pelanggar hari Sabtu tersebut dikisahkan dalam Alquran Surah al-A'raf ayat 163:
“Dan, tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar mereka) terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.”
Kemudian azab kepada para penduduk Yahudi tersebut pun disebut dalam ayat berikutnya, yakni ayat 164 hingga 166.
“Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, 'Mengapa kamu menasihati kaum Yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazabkan mereka dengan azab yang amat berat?' Orang-orang (yang memberi nasihat) itu menjawab, '(Nasihat itu ialah) untuk melepaskan diri dari bersalah kepada Tuhan kamu dan supaya mereka bertakwa.'”
“Maka, ketika mereka melupakan (tidak menghiraukan) apa yang telah diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang daripada perbuatan jahat itu, dan Kami timpakan orang-orang yang zalim dengan azab siksa yang amat berat disebabkan mereka berlaku fasik (durhaka).”
“Maka setelah mereka berlaku sombong takbur (tidak mengindahkan) kepada apa yang telah dilarang mereka melakukannya, Kami katakan kepada mereka, 'Jadilah kamu kera yang hina.'”
Ayat tentang kaum kera itu juga terdapat dalam kisah sahabat, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Diriwayatkan saat itu Ikrimah radhiyallahu ‘anhu bermaksud menemui Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Namun, saat bertemu, sahabat nabi tersebut tengah berderai air mata.
Lalu, Ikrimah bertanya apa yang menyebabkan Ibnu Abbas menangis tersedu. Ibnu Abbas pun menunjukkan ayat-ayat tersebut kemudian berkata, “Tahukah kau negeri Aylah?”
Ikrimah pun menimpali, “Ya.”
Ibnu Abbas kemudian mengatakan, “Ada segolongan Yahudi di sana, datang kepada mereka ikan yang banyak pada hari Sabtu, gemuk-gemuk. Tapi, di luar hari Sabtu, mereka tidak mampu menangkapnya kecuali dengan susah payah.”
“Ketika mereka dalam keadaan demikian, setan membisikkan bahwa mereka dilarang memakannya hanya pada hari Sabtu, maka tangkaplah pada hari itu dan makanlah di hari yang lain. Akhirnya, satu kelompok berpendapat seperti ini, dan yang lain melarang dan mencegah, 'Kalian itu dilarang untuk menangkap dan memakannya pada hari Sabtu.'”
Terkait tafsir ayat tersebut, Ibnu Katsir menguraikan kisah tersebut sebagai tipu muslihat para Yahudi yang pembangkang. Ia pun berpendapat bahwa kelompok yang mengingkari saja yang selamat. Sementara, kelompok yang berdiam diri menentang para ulama dan orang saleh ikut menjelma menjadi kera yang hina.
Ibnu Katsir pun kemudian menafsirkan al-'Araf ayat 165, “Saya berpandangan, orang-orang yang melarang itu selamat, tapi saya tidak memandang yang lain disebut. Sementara, kita juga melihat banyak hal yang kita ingkari dan tidak mengatakan apa-apa.”
Adapun terkait kelanjutan kisah, kemana kera-kera tersebut pergi, para ulama tafsir berbeda pandangan. Sebagian ulama mengatakan, setelah menjelma menjadi kera, mereka mati begitu saja dan punah.
Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah dengan kekuasaan-Nya, mengembalikan lagi mereka ke wujud semula. Meski demikian, hal yang pasti, kera tersebut tidak memiliki keturunan.
Dalam tafsir juga disebutkan, tidak semua penduduk desa dikutuk menjadi kera. Ulama membagi tiga golongan, yakni, kelompok yang melanggar perintah Allah dan tetap menangkap ikan. Kelompok kedua, yakni yang melarang kelompok pertama menangkap ikan. Kemudian kelompok ketiga ialah yang berdiam diri.
HIKMAH
Entah bagaimanapun nasib para kera, kisah tersebut telah memberi banyak pelajaran. Bahkan, seorang sahabat Ibnu Abbas pun menangis saat teringat kisah tersebut.
Melawan godaan dalam menjalankan perintah Allah merupakan salah satu hikmah yang dapat dipetik dari kisah Ashabus Sabt.
Kaum Yahudi dalam kisah tersebut tenggelam dalam nafsu dan tak sabar melawan godaan. Mereka justru berkilah, merekayasa dengan intrik licik. Padahal, setiap hamba wajib menaati perintah Allah.
Di balik setiap godaan, cobaan, ataupun ujian yang dihadapi pasti terdapat rahasia Ilahi. Dengan melewatinya, berarti kita lulus dalam ujian ketakwaan dan meningkatkan derajat kita di sisi Allah.
“Dan sungguh Kami benar-benar akan menguji kamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan, dan kekurangan harta, hilangnya jiwa, dan sedikitnya buah-buahan,” disebutkan dalam Surah al-Baqarah ayat 155.
Rasulullah pun bersabda, “Seseorang itu akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Apabila orang itu kuat agamanya maka semakin keras ujiannya. Kalau agamanya lemah maka dia akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka musibah dan ujian itu sentiasa menimpa seorang hamba hingga dia ditinggalkan berjalan di atas muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi).
Selain itu, amar makruf nahi mungkar juga menjadi hikmah lain dalam kisah tersebut. Para ulama dan orang saleh dalam kisah tersebut selamat dari azab Allah karena melawan kemungkaran dan menyerukan kebaikan.
Sikap tersebut menjadi pedoman setiap Muslim, sebagaimana dalam Surah Ali Imran ayat 104, “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah juga bersabda, “Barang siapa melihat suatu kemungkaran hendaklah ia merubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan). Dan, apabila tidak mampu juga, hendaklah dengan hatinya dan itu selemah-lemah iman.”
Keterangan: Kisah ini pernah dimuat di Harian Republika
https://www.republika.co.id/berita/mf866n/ashabus-sabt-monyet-pelanggar-hari-sabtu-5habis
0 comments